Objek Wisata Sulawesi Selatan

Budaya Bugis : Rumah Adat Bugis

Setiap Budaya memiliki Ciri Khas Rumah Adatnya Masing-masing. Begitu Pula Dengan Bugis yang masih mempercayai bahwa rumah adat bugis itu terdiri dari tiga Bagian. Ini sama yang saya Jelaskan Pada Postingan Budaya Bugis Dalam La Galigo : Konsep Kosmogoni Orang Bugis Yang Dimana Kepercayaan Tersebut terdiri atas :
1.Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2.Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3.Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut)

Bagian-Bagian Dari Rumah Adat Bugis
1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.

Rumah ini bisa berdiri tampa mengunakan satu paku pun :Dorang daluhu kala mengantikan Fungsi Paku Besi menjadi Paku Kayu.


Informasi Tentang Objek Wisata di Toraja

Bunting Buntu Barana’
Benteng Buntu Barana’ di Takala pada abad XVIII dulu dibuat Sia Ne’Salu bersama istrinya L. Ta’bi. Benteng Buntu Barana dibuat dengan basis pertahanan dalam menghadapi peperangan melawan musuh-musuh, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Benteng Buntu Barana’ ini diperkuat oleh dukungan dari gabungan wakil-wakil masyarakat Tobarani seperti dari Tondon, Kesu’, Madandan, Balepe’, Pangala’ dan beberapa kampung lainnya dalam suatu misi tersendiridari 10 orang yang lebih dikenal To Padatindo dalam menghadapi lawan yang datangnya dari luar Tana Toraja.

Benteng Buntu Barana’ terdiri dari 3 bagian benteng, yaitu :
1.Benteng Batu Pa’patulelean terletak pada bagian selatan.
2.Benteng Mangunda’pa agak di bawah dari Benteng Buntu Barana’
3.Benteng Buntu Barana’ pada bagian ketinggian.

Ketiga benteng ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain oleh karena merupakan satu kesatuan yang strategis sebagai benteng pertahanan yang tidak pernah terkalahkan, ketika perang melawan penjajahan Belanda, yang dipelopori oleh Tanga Layuk dan Sitto.

Pada lokasi Benteng Buntu Barana’ juga kita dapat menyaksikan panorama yang sangat indah ke beberapa penjuru seperti arah ke Bori Tallunglipu dan kota Rantepao. Jaraknya dari kota Rantepao ± 4 km.

Buntu Kalando
Daya tarik utama:
Meseum mini
Tongkonan Puang Sangalla
Lokasi desa/lembang: Sangalla
Objek wisata ini adalah Tongkonan Puang Sangalla’ yang telah difungsikan sebagai museum dan home stay, terletak di Kelurahan Kaero Sangalla’ 20 Km dari kota Rantepao. Buntuk Kalando mempunyai adat “Tanado Tananan Lantangna Kaero Tongkonan Layuk” yaitu sebagai tempat kediaman “Puang Sangalla”.
Tongkonan ini dibangun bersama dengan tiga lumbung padi (Alang Sura’). Buntu Kalando sebagai Tongkonan Tananan Lantangna Kaero Tongkonan Layuk dilengkapi dengan beraneka ragam tanduk yaitu tanduk kerbau, tanduk rusa, dan tanduk anoa terpampang di bagian muka Tongkonan dua buah kabongo’ yaitu satu kabongo’ bonga’ Sura’ dan satu kabongo’ pudu’ serta di atasnya didudukkan katik yang menyerupai langkan maega (burung elang), perlambang kebesaran.

Sebagai museum dalam tongkonan ini dilengkapi barang-barang koleksi antara lain:

Alat kerajaan Sangalla’
Pakaian adat kebesaran
Barang-barang bersejarah
Barang-barang antik
Alat-alat perang
Alat-alat ritus
Alat-alat pertanian
Alat-alat dapur
Alat-alat makan
Alat-alat minum
Barang-barang berkhasiat (balo’)
Alat-alat top seks Toraja
Dan lain-lain
Galugu Dua Sangkambong

Tongkonan
Pertenunan tradisional
• Lokasi desa/lembang: Sa’dan Manimbong Kambira
• Daya tarik utama: Passiliran (Kuburan pada pohon hidup untuk bayi yang masih belum tumbuh gigi)
• Lokasi desa/lembang: Buntu Sangalla’

Lemo

Daya tarik utama:
Liang Paa
Tau-tau
Bangunan tongkonan sasana budaya
Lokasi desa/lembang: Lemo
Berada di km 9 jurusan Makale-Rantepao masuk 600 meter. Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, hasil kombinasi antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kreasi tangan terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau Liang Paa’. Jumlah lubang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Sejak tahun 1960, obyek wisata ini telah ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing dan domestik.
Pengunjung dapat pula melepaskan keinginannya dan membelanjakan dollar atau rupiahnya pada kios-kios suvenir. Ataukah berjalan-jalan di sekitar obyek ini menyaksikan buah-buahan pangi yang ranum kecoklatan yang siap diolah dan dimakan sebagai makanan khas suku toraja yang disebut “Pantollo Pamarrasan”.

Lo’ko Mata
Lo’Ko Mata suatu lokasi yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil posisi di lereng gunung Sesean pada ketinggian ± 1400m di atas permukaan laut. Suatu tempat yang sangat menawan, fantastic dan bila seseorang datang dan menyaksikan serta merenungkan ciptaan ini rasa kangen pasti ada.

Selain itu Anda dapat menyaksikan panorama alam yang sangat indah dan deru arus sungai di bawah kaki kuburan alam ini. Yang terletak di desa Pangden ±30 km dari kota Rantepao. Nama Lo’ko’ Mata diberi kemudian oleh karena batu alam yang dipahat ini menyerupai kepala manusia, tetapi sebenarnya Liang Lo’ko’ Mata sebelumnya bernama Dassi Dewata atau Burung Dewa, oleh karena liang ini ditempati bertengger dan bersarang jenis-jenis burung yang indah-indah warna bulunya, dengan suara yang mengasyikkan kadang menakutkan.

Pada abad XIV (1480) datanglah pemuda kidding yang memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanya yang bernama Pong Raga dan Randa Tasik (I) selanjutnya pada abad XVI tahun 1675 lubang yang kedua dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad XVII lubang yang ketiga dibuat oleh Rubak dan Datu Bua’. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini saat kita telah memasuki abad XX. Luas areal wisata Lo’ko’ Mata ± 1 ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buah.

Lombok Parinding
Daya tarik utama:
Liang lo’ko
Erong
Lokasi desa/lembang: Bori’ Parinding

L o n d a

Daya tarik utama:
Liang Lo’ko’
Erong
Tau-tau
Kuburan tergantung
Lokasi desa/lembang: Sandan Way

Ma’daung Tondok

Daya tarik utama:
Patane khusus mayat bayi purba

Liang lo’ko’
Erong
Panorama
Kompleks rumah adat tradisional
Lokasi desa/lembang: Sillanan / Mebal
MISTIK!!!… Sepenggal kata yang mungkin cukup mampu mendesirkan bulu kuduk, hal itupun tepat untuk melukiskan adat Ma’daung Tondok Sillanan yang dalam pelaksanaannya penuh mengandung ritual-ritual mistis.

Obyek wisata Ma’daung Tondok terletak di Kecamatan Mengkendek 20 km arah Selatan Makale, ke arah Barat, di Desa Sillanan. Obyek ini didukung oleh obyek-obyek wisata yang sangat menarik seperti : Lo’ko’wai, To’Banga, Pangrapasan dan Ma’dandan serta Tongkonan Karua Sillanan. Di mana masing-masing memiliki daya tarik yang spesifik dan keunggulan tersendiri seperti : Lo’ko’wai; di tempat ini terdapat mayat bayi yang unik dan awet (mummy) di mana rambut, kuku, gigi serta kulitnya masih utuh meskipun umur mayat tersebut diperkirakan sudah berkisar 4 ½ abad. Mayat tersebut disakralkan oleh masyarakat di wilayah adat Ma’daung Tondok yang secara mitologis diyakini adalah keturunan dewa.

Kurang lebih 400 meter terdapat kuburan manusia purba yang terdiri dari tumpukan erong, serta beberapa liang pahat di sekitarnya. Hal lain yang bisa kita nikmati di sektor-sektor obyek ini adalah keindahan alam. Para pengunjung masih dapat menyaksikan pohon-pohon tropis yang terpelihara meskipun umurnya telah tua, dan berkhasiat obat. Perkampungan tradisional yang masih asli dan unik tempat upacara adat, suatu benteng pertahanan yang digunakan untuk memantau musuh pada sekitar abad XVI. Benteng ini tidak pernah diterobos oleh musuh pada zaman dahulu. Wilayah obyek wisata Ma’daung Tondok secara keseluruhan sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan siap menanti kunjungan Anda.

M a r a n t e
Daya tarik utama:
Tongkonan
Liang Paa’
Erong
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Tondon

Museum Londorundun

Daya tarik utama:
Rumah adat Toraja
Museum
Lokasi desa/lembang: Tallunglipu, Bolu - Rantepao
Menurut penuturan lisan orang Toraja khususnya bagi para bangsawan khususnya di Kecamatan Sa’dan Balusu’ dan Sesean bahwa Londorundun yang bergelar “Datu Manili”, adalah seorang putri yang cantik jelita yang memiliki rambut panjang dengan ukuran 17 depah 300 jengkal atau dalam Bahasa Toraja “Sang pitu da’panna, Talluratu’ Dangkananna”. Gadis jelita ini dipersunting oleh seorang raja dari Kabupaten Bone yang bernama “Datu Bendurana”.
Bukti sejarahnya adalah sebuah buku besar yang modelnya persis dengan sebuah kapal dikawal oleh dua batu kecil yang modelnya seperti perahu berada di Sungai Sa’dan di desa Malango’ (Rantepao) sebelah kanan jembatan Malango’ yang menurut cerita leluhur secara turun-temurun adalah kapal milik Datu Bendurana yang datang mencari dan menyelidiki Datu Manili (Londorundun). Mereka dipertemukan dalam jodoh dan oleh sebab itu orang Bone tidak boleh berselisih dengan orang Toraja, karena mereka mempunyai “Basse” atau “Perjanjian”. Salah satu saudara kandung Londorundun adalah “Puang Bualolo” kawin ke wilayah Sa’dan, dan menjadi leluhur pemilik Museum Londorundun yang terletak di Desa Tallunglipu, kompleks Bolu-Rantepao.

Pala’tokke

Daya tarik utama: Kuburan tergantung
Lokasi desa/lembang: La’bo’
Syahdan, dahulu ada seorang pria yang memiliki kesaktian, berbekal kesaktiannya pula Pala’ Tokke mulai memanjat tebing dengan cara merangkak untuk kemudian membuat lubang pada tebing yang digunakan untuk menancapkan kayu sebagai penahan erong (peti mayat purba). Atas jasanya maka daerah ini kemudian diberi nama Pala’ Tokke oleh masyarakat sekitar.
Berkunjung ke Pala’ Tokke dapat melihat peti mati yang menyerupai sebuah rak yang digantung pada sebuah tebing gunung.

Palawa’
Daya tarik utama:
Tongkonan
Pengrajin tenunan tradisional
Lokasi desa/lembang: Palawa’

Penanian

Daya tarik utama:
Tongkonan dan persawahan
Rante dan simbuang
Patane
Kelelawar
• Lokasi desa/lembang: Nanggala

Pongtimbang
Daya tarik utama:
Erong
Liang paa’
Lokasi desa/lembang: Baruppu’
Obyek wisata Pongtimbang terletak di desa Baruppu’ Kecamatan Rindingallo. Desa ini terkenal dengan penganut agama leluhur (Aluk Todolo) yang masih kental. Jarak lokasi dari Rantepao ± 58 km.
Obyek wisata Pongtimbang adalah salah satu liang pahat yang dibuat pertama kali oleh seorang pria bernama Pandarrak. Pongtimbang berarti sumber menerima berkat (Pong = sumber, Timbang = menerima berkat). Di desa inilah acara Ma’Nene’ (membersihkan kuburan-kuburan leluhur) setiap 5 tahun sekali dilakukan oleh masyarakat oleh karena masyarakat percaya bahwa membersihkan dan mengkafani kembali mayat-mayat yang telah lapuk pembungkusnya (balunna) adalah sesuatu yang mulia, di mana leluhur-leluhur akan senantiasa mengingat dan memberkahi turunan dan generasinya.

Potek Tengan
Daya tarik utama: Situs purba/bersejarah
Lokasi desa/lembang: Tengan
Tak kenal maka tak sayang, sesudah dikenal bisa jatuh cinta. Sungguh jatuh cinta pada obyek wisata Potok Tengan di Desa Tengan Kecamatan Mengkendek, persis di bawah kaki Gunung Kandora. Obyek wisata ini memiliki suatu rahasia yang terpendam yang pasti punya makna dan arti hidup yang sarat dengan pertanyaan.

Ya, itulah ‘Batu Suci’ sebagai penjelmaan dari mayat ‘Puang Pindakati’ istri dari Datu Sawerigading. Permaisuri Datu Sawerigading ini dipuji-puji masyarakatnya di masa silam sebagai ‘Dewi Pelindung’ (Penolong). Sebagai penghormatan bagi Dewi Pelindung ini diadakan ‘Pesta Meroek’ setiap tahun.

Generasi dari Dewi Pelindung dan datu Sawerigading, mengatur pemerintahannya dalam 3 fungsi yang disebut Tallu Borangna, yaitu pada Tongkonan Potok Tengan, dan pemimpinnya bergelar Pattole Baine, pada Tongkonan Garompa bergelar Masulosulo. Masing-masing dengan fungsi Pemimpin Tertinggi (salassa’). Penerangan dan obyek wisata sekali lagi dilengkapi dengan suatu mitos dan mungkin pasti (you believe it or not), adalah seorang yang pada zamannya dipandang sebagai Dewa dengan gelar “Tomebanuaditoke”, Tometondok Dianginni, To turunan dibentoen, To Losson di Batara Mendemme’ di Kapadanganna, Dialah “Puang Tambora Langi” si pembawa adat Sanda Saratu yakni 7777 pasal yang menjadi tatanan adat, ada’na sukaran aluk masyarakat Toraja sejak leluhur hingga kini.

Sarana prasarana menuju obyek sebagian sudah baik, tetapi sebagian pula yang masih jalan setapak model jalan kampung tempo dulu. Namun Anda tidak merasa lelah dan tiba-tiba telah berada di puncak potok tengan, oleh karena melalui jalan-jalan ke Potok Tengan ada kekuatan gaib yang mengantar Anda.

Ranpanan Kapa’
Ranpanan kapa’ adalah upacara perkawinan secara adat di Tana Toraja, yang dilaksanakan oleh orang-orang tua tempo dulu, dengan memenuhi beberapa persyaratan antara lain pihak laki-laki wajib menyerahkan mas kawin berupa “kaleke’ dan pangan”. Tetapi untuk zaman di alam modern ini, pihak laki-laki dan pihak perempuan sama-sama membiayai pesta pernikahan (toleransi atau patungan) juga pakaian pengantin telah dimodifikasi.

Ranta Tendan
Ranta Tendan adalah pusaka leluhur Puang Balusu dan keluarga-keluarga lainnya, yang digunakan untuk acara upacara Rambu Solo’ (Ma’palao). Di Rante Tendan ini kita dapat menyaksikan hadirnya puluhan dari ratusan “Simbuang Batu” sebagai pertanda , bahwa upacara Ma’palo sudah banyak kali diadakan, digunakan sejak abad X pada zaman hidupnya Puang Takke Buku. Jarak Rante Tendan dari kota Rantepao ± 15 km.

S u a y a
Daya tarik utama:
Erong
Liang Paa’
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Kaero

Tampangallo

Daya tarik utama:
Liang lo’ko’
Erong
Tau-tau
Lokasi desa/lembang: Kaero

Tilangga’

Daya tarik utama: Kolam alam untuk rekreasi tirta
Lokasi desa/lembang: Sarira
Tilangga’ sebagai obyek wisata pemandian alam, jaraknya ± 12 km dari kota Rantepao, arah selatan.Bila pengunjung ingin melemaskan otot-otot dan urat-urat yang penat sepanjang hari berkeliling ke objek-objek wisata, jangan lupa mandi di kolam air dingin Tilangga’. Airnya sangat jernih, dingin, sejuk dan tidak pernah kering. Dan Anda juga dapat menyaksikan ikan-ikan berwarna bersama belut-belut dalam kolam pemandian ini yang santai, tanpa merasa terusik. Pada saat ini air yang mengalir dari obyek wisata ini digunakan untuk air PAM bagi masyarakat kota Makale dan sekitarnya.

Tiro Tasik
Tiro : melihat/memandang
Tasik : laut lepas

Tiro Tasik adalah salah satu obyek wisata di mana Anda dapat menikmati laut lepas Teluk Bone. Sungguh suatu mujizat yang besar bahwa Tiro Tasik berada di tengah-tengah pegunungan, tetapi secara penglihatan dapat sangat dekat dengan laut. Juga pemandangan alamnya yang indah menawan dan hawanya yang sejuk. Tiro Tasik pada zaman dahulu dijadikan benteng pertahanan masyarakat distrik Sa’dan Matallo. Tiro Tasik adalah tanah milik Tongkonan Buntu Busia dan Sellak.

Apabila Anda berada pada lokasi ini sejauh mata memandang arah sebelah timur Anda menyaksikan Teluk Bone dengan perahu-perahu layarnya yang pantang surut sekali terkembang. Arah Selatan dengan pemandangan sebagian alam Toraja yang indah permai berhiaskan lembah, bukit, dan sawah-sawah tersusun rapi secara alamiah. Arah Barat Anda dapat melihat Gunung Sesean yang menjulang tinggi dengan batu cadasnya yang diselingi pohon-pohon arabica. Arah Utara Anda dapat menyaksikan lebatnya hutan-hutan lindung yang ditumbuhi bermacam-macam jenis pohon tropis. Sepanjang jalan ke arah obyek wisata Tiro Tasik tak jemu-jemunya menyaksikan ciptaan-ciptaan leluhur yang antik dan bergengsi. Yakni perumahan adat milik masyarakat antara lain : Tongkonan Rea, Belo Sa’dan, Tammuan Allo’ Buntu Lobo’, Pambalan, Pantu dan Belo Bua’, dengan wanita-wanitanya yang sedang mengayunkan “Balida”nya (alat tenun tradisional), untuk menenun kain-kain tradisional yang cantik dengan nama tenunan Paruki’ (Tenun Ukir). Dan bila Anda merasa haus silakan mencicipi sang suke Tuak mammi’na To Sa’dan dengan nama “Tuak Sissing Beang” yang sangat harum aromanya dan membuat si peminum bertambah semangat.

To’barana

Daya tarik utama:
Pertenunan tradisonal
Panorama tepi sungai
Lokasi desa/lembang: Sa’dan Malimbong
To’ Puang-Batualu
Perkampungan pertama (Pa’tondokan Garonto) “Puang Pangonggang” dan dua orang seperangkatannya bernama Bongi dan Paliun. Mereka adalah orang pertama (Pong Mula Tau) yang dikenal dengan nama “Tana’ Tau Tallu” yang kelak Tana’ Tau Tallu ini berpindah ke Selatan Rante Alang yang disebut Batualu (Padang di Batualu) di mana lokasi To’Puang ini terletak. Lokasi ini diberi nama To’Puang setelah dihuni (natorroi) anak dewa dari gunung Sinaji suatu tempat ketinggian sebelah selatan Batualu.

Berlarut dalam situasi sedemikian ini oleh keluarga dari leluhur Toma’tau Tallu’ di mana Pagonggang memegang tampuk kekuasaan (Puang Pagonggang) sebagai pengatur segala sesuatu di daerah yang dihuni (di daerah Batualu), namun seperangkatannya (Bongi/Paliun) tetap memegang teguh dan utuh memimpin daerah kekuasaannya masing-masing, yang tersimpul dalam idiom Toraja (Kada Bola’na Toraya) dari ketiga seperangkatan, dengan semboyan masing-masing pihak sebagai berikut :

Semboyan Puang Pagonggang berbunyi: Tomamma’ Penamile, Tomatindo Balian, Todiku Lambu Taruno, artinya bahwa Puang Pagonggang adalah pengambil inisiatif dan tidak untuk kepentingannya sendiri, tapi demi ketentraman/kemajuan masyarakat yang ada pada zaman itu.

Semboyan Bongi berbunyi : Toma’ Peniro Sumalunna Lombok artinya bahwa bongi merupakan pasukan tentara untuk keamanan/ketentraman masyarakat.

Semboyan Paliun berbunyi: Peso paele Pupakan dengan pengertian bahwa Paliun sebagai pengatur, pelaksana dan perencana.

Pada zaman pemerintahan Belanda, Puang Pong Tambing keturunan Puang Pagonggang memangku rangkap jabatan yakni pemangku adat (To Parengnge) dan kepala Pemerintahan (kepala Bua’) di masyarakat Batualu. Tampuk kepengurusan Mustika sakti Puang parranan dalam tangan puang Pong Tambing (Kepala Bua) bersama pemimpin seperangkatannya Bongi dan Paliun. Sebab itu kepala Bua’ dijabat Puang So’Nura’ dengan gelar Puang Batualu kemudian pemangku adat dijabat Puang Londong Allo. Dari Toma’tan tallu (Pong Mula Tau) mulai dari angkatan pertama sampai angkatan So’Mule (Perenge’ Tongkonan Dua), Tanete, terasa baik dan terwujud hikmat sehingga lokasi To’Puang dan daerah sekitar To’Puang juga memiliki mitos yang spesifik dapat dijadikan suatu objek potensial untuk berwisata.


Upacara Adat : Upacara Kematian Tanah Toraja

Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna, sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat “peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu, umumnya tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah rumah (Pa’tane). Budaya ini telah diwarisi secara turun temurun oleh leluhur mereka.

Adat masyarakat Toraja menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, merupakan kekayaan budaya yang begitu menarik untuk disimak lebih dalam lagi, dapat dijumpai di beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti Londa, yang merupakan pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia; Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, hasil kombinasi antara ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan kreasi tangan terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau liang Paa’. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.

Buntu Pune
Lokasi pemukiman masyarakat Toraja zaman dahulu sekaligus pemakaman yang bernuansa eksklusif, dibangun oleh Pong Maramba sebagai simbol pemerintah di zamannya.

Liang Tondon
Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan di suatu tempat khusus yang terdiri dari 12 liang, lokasi tempat pemakaman Balusu inilah yang diberi nama Liang Tondon. Saat ini di era reformasi, Liang Tondon Balusu bersedia sebagai salah satu Tourist Destination yang menarik untuk disimak. Tetapi sesuai Undang-Undang Ordonantee RI, tidak boleh memindahkan/ mengambil barang purbakala yang ada di tempat ini.

To’Doyan
Tidak berbeda dengan obyek wisata sebelumnya, To’Doyan adalah lokasi obyek wisata berupa pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.

Tampang Allo
Sejarah singkat obyek Tampang Allo ini merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla’ dan berisikan puluhan Erong, puluhan tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia.
Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla’ dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih Goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni “sehidup semati satu kubur kita berdua”. Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.

Patane Pong Massangka
Patane (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 yang diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Palindatu memiliki anak bernama Pong Massangka yang memiliki jiwa perlawanan terhadap Belanda sehingga ia dibuang ke Nusa Kambangan pada tahun 1917, dikembalikan ke Tana Toraja pada tahun 1930 dan meninggal dunia pada tahun 1960 dalam usia 120 tahun. Kini mayat Pong Massangka dengan gelar Ne’Babu’ disemayamkan dalam Patane ini dan tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat siap menanti kunjungan Anda. Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.

Londa
Obyek wisata Londa yang berada di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai’ dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, adalah kuburan alam purba. Tercipta secara alamiah oleh Yang Maha pengasih Tuhan yang empunya bumi ini. Gua yang tergantung ini, menyimpan misteri yakni erong puluhan banyaknya, dan penuh berisikan tulang dan tengkorak para leluhur tau-tau. Tau-tau adalah pertanda bahwa telah sekian banyak putra-putra Toraja terbaik telah dimakamkan melalui upacara adat tertinggi di wilayah Tallulolo. Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.

Kuburan alam purba ini dilengkapi dengan sebuah “Benteng Pertahanan”. Patabang Bunga yang bernama Tarangenge yang terletak di atas punggung gua alam ini. Obyek ini sangat mudah dikunjungi, oleh karena sarana dan prasarana jalannya baik. Satu hal perlu diingat bahwa seseorang yang berkunjung ke obyek ini, wajib memohon izin dengan membawa sirih pinang atau kembang. Sangat tabu/pamali (dilarang keras) untuk mengambil atau memindahkan tulang, tengkorak atau mayat yang ada dalam gua ini.

Bori’ Kalimbuang
Obyek wisata utama adalah Rante (Tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit), dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu. Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada upacara pemakaman Ne’Ramba’ di mana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang Batu. Selanjutnya pada tahun1807 pada pemakaman Tonapa Ne’padda’ didirikan 5 buah Simbuang Batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne’Lunde’ yang pada upacaranya dikorbankan 100 ekor kerbau didirikan 3 buah Simbuang Batu.

Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907 banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman Lai Datu (Ne’Kase’) pada tahun 1935 didirikan satu buah Simbuang Batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang Batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Sa’pang (Ne’Lai) pada tahun 1962. Dalam Kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan upacara pemakaman yang membuat kita mengetahui lebih banyak tentang Bori’ Kalimbuang.

Ta’pan Langkan
Ta’pan Langkan artinya istana burung elang. Dalam abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun antara lain Pasang dan Belolangi’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.

Upacara Kematian di Tana Toraja Part 2

December 09th, 2008 | Category: Agama, Kearifan Lokal

Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu.

Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.

Tapi, sebelum jumlah itu mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi. Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di Tongkonan (rumah adat Toraja) sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap untuk melaksanakan upacara ini.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara Rambu Solo’ maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit. Karena statusnya masih ’sakit’, maka orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang masih hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.

Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama (tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya Ma’tinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu. Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang hadir.

Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari, lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan tersebut.

Seluruh prosesi acara Rambu Solo’ selalu dilakukan pada siang hari. Siang itu sekitar pukul 11.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita), kami semua tiba di tongkonan barebatu, karena hari ini adalah hari pemindahan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante (lapangan tempat acara berlangsung).

Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu).

Prosesi pengarakan jenazah dari tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang. Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lamba-lamba.

Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba.

Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang berduka.

Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.

Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan ma’pasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena selama upacara Rambu Solo’, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara yang ditunggu-tunggu.

Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane’ (kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).